Identitas Gelap Sebuah Lembaga

Anda pernah menontoh film Spotlight yang dibuat pada tahun 2015? Film ini berkisah tentang para jurnalis investigasi yang membongkar kasus pedofil di gereja. Terdapat lebih dari 90 nama pastor yang ditempatkan di Boston terlibat pelecehan seksual anak-anak di gereja Katolik. Hingga kini jumlahnya mencapai ratusan. Tak sedikit pelakunya hanya dimutasi. Tapi lebih banyak kasusnya didiamkan atau dipeti es kan. Film Spotlight menunjukkan bahwa kasus pelecehan seksual merupakan fenomena gunung es yang ternyata terjadi di banyak gereja. Bukan hanya di Amerika namun berbagai belahan dunia. Bukan itu saja, mayoritas warga sekitar dan anggota instansi didalamnya menentang kasus ini diungkap.

Argumen utama saya dalam tulisan ini adalah, tidak hanya individu, instansi juga punya identitas. Dan setiap instansi atau lembaga, baik itu keagamaan, pendidikan, hingga keamanan, mempunyai dua identitas, yakni sisi baik atau terang dan sisi gelap. Sisi baik adalah identitas yang sering dibangga-banggakan. Sebaliknya, sisi gelap adalah identitas yang kerap disembunyikan. Namun ketika sisi gelap ini terungkap ke publik maka pelakunya disebut oknum. Antropolog Joshua Barker yang melakukan riset disertasinya di kantor polisi kota Bandung di medio 1990an kerap menemukan hal ini. Adalah rahasia umum jika polisi  mendapatkan uang tambahahan melalui pungutan liar kepada pelaku sektor retail. Anggota yang melakukan tindakan kriminal ini bukannya tidak diketahui oleh lembaga. Namun kerapkali ia dibiarkan. Sedangkan di wilayah pinggiran, John Mc Carthy yang melakukan riset di Aceh dan menorehkan hasil laporannya di kumpulan tulisan, The State and Illegality in Indonesia (2010). Ia menunjukkan ragam penyuapan kepada anggota polisi yang terlibat dalam kasus pembalakan liar. Seperti Spotlight, tentu saja kasus penyuapan terhadap anggota polisi bukan hanya ada di Aceh, ia merebak di hampir semua Provinsi hingga di Papua.

Sisi gelap lembaga keamanan resmi Negara, khususnya Kepolisian dan Tentara bukan hanya berkaitan dengan penyuapan, namun juga kekerasan seksual. Tentu saja kasus terbaru yang paling mengiris adalah Randy Bagus yang berdinas di Seksi Umum (Sium) Polres Pasuruan. Ia memaksa perempuan yang dipacarinya untuk melakukan aborsi berulang kali. Pasangannya berujung depresi dan bunuh diri di samping makam ayahnya. Kekerasan seksual juga umum dilakukan tentara. Film Surat Cinta Kepada Sang Prada dibuat pada tahun 2012 dan meraih film dokumenter terbaik pada festival film Papua yang digelar tiap tahun. Film ini bercerita tentang seorang siswi SMK, Ety yang berkenalan dan jatuh cinta dengan seorang anggota TNI dari Jawa bernama Samsul. Samsul bertugas di Kabupaten Merauke yang berbatasan langsung dengan  PNG. Dari hasil hubungan ini, Ety hamil. Namun Samsul raib dan berpindah tugas. Dengan masih penuh harap, Ety menulis surat agar Samsul mau bertanggung jawab mengingat anaknya sudah mau masuk SD. Ada begitu banyak Samsul-Samsul di barak tentara yang hingga saat ini dibiarkan berkeliaran tanpa sangsi pengadilan. Geraja Katolik di Merauke mencatat setidaknya terdapat 19 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Merauke sepanjang penugasan TNI dari tahun 1992 hingga 2009. Perempuan dihamili, kemudian dicampakkan begitu saja.   

Perilaku seksual yang tidak terkontrol ini tentu juga bagian dari sisi gelap dinas ketentaraan. Baru-baru saja, per 1 Desember, Panglima TNI Andika Perkasa dalam kunjungannya ke Jayapura mengakui bahwa prajuritnya bahwa dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini, tercatat sebanyak 1,826 prajuritnya yang terjangkit HIV/AIDS.

Kuatnya Relasi Patron-Klien

Benang penghubung antara Lembaga Gereja, Polisi, Tentara dan Universitas adalah kuatnya relasi patron-klien. Ketika melakukan riset disertasi di Pulau Seram, Maluku, saya menyaksikan ada begitu banyak foto tentara di dinding warga kampung. Warga mengangkat para tentara yang bertugas di tiap perbatasan kampung ini sebagai “anak piara”. Begitu kagumnya mereka dengan tentara, sehingga tidak sedikit warga berharap para anak piara ini menikahi salah satu anak permepuan mereka. Itupun jika berhasil, namun tak sedikit yang berujung duka seperti cerita Ety diatas. Tentara dan polisi adalah sosok yang dikagumi. Di wilayah konflik, ia menjelma sebagai patron baru seolah-olah sebagai pelindung. Posisi patronase ini yang kerapkali memuluskan cara mereka melakukan kekerasan seksual.

Bukan hanya di barak tentara, lembaga universitas tentu tidak saja sepi dengan kekerasan seksual. Layaknya Covid 19, kekerasan seksual kampus menjadi wabah di hampir semua universitas. Pelakukanya bukan hanya dosen, namun juga mahasiswa senior. Antropolog Peggy Reeves Sanjay dalam laporannya Fraternity Gang Rape (2007) menunjukkan tradisi brotherhood kelas menengah kulit putih di perguruan tinggi. Di tahun-tahun semester awal, mereka membuat perempuan mabuk sehingga para pria ini dapat “memerawani”, bahkan memperkosa mahasiswi yunior dan membual tentang hal tersebut pada hari berikutnya. Ini adalah tradisi yang umum dan diterima oleh laki-laki di Amerika. US Department of Justice (Departemen Kehakiman) melaporkan dalam survei nasionalnya, 1 dari 6 perempuan di Amerika pernah diperkosa dalam hidupnya. Pelakunya adalah teman dekat atau seseorang yang dikenal oleh korban.  

Bukan hanya itu, para dosen antropologi di Universitas Harvard, Theodor Bestor, John Comaroff, yang demikian saya kagumi tulisannya. Ternyata diduga kuat melakukan pelecehan seksual selama karirnya. Namun para professor tua ini sangat dilindungi oleh instansi. Di almamater tempat saya menimba ilmu, Gopal Balakhrisnan, didakwa melakukan banyak pelecehan seksual. Dosen University of California, Santa Cruz sekaligus editor New Left Review ini oleh pengikut Marxisnya dipandang karismatis. Sehingga terjadi ketegangan dengan para feminis di kampus yang menuntut Gopal dipecat. Perlu tiga tahun untuk akhirnya memecat Gopal.

Universitas mirip dengan Gereja Katolik dalam film dokumenter Spotlight. Para pelaku kekerasan seksual memanfaatkan kuasanya kepada mereka yang sangat rentan dan menggantungkan harapannya. Kekerasan seksual dosen terhadap mahasiswa banyak terjadi ketika mahasiswa melakukan  proses penulisan skripsi. Di saat mahasiswa begitu bergantung terhadap pembimbingnya. Namun pelakunya banyak didiamkan. “Demi harmoni dan nama baik”.

Instansi punya sisi gelap yang menjadi bagian dari identitasnya. Gereja marak dengan pedofil. Barak tentara dengan kekerasan seksual. Universitas dengan pelecehan seksual. Lembaga lain tentu punya sisi gelap sebagai identitasnya. Penjara, rumah sakit, kantor LSM, hingga pesantren. Permasalahannya ada pada pendiaman secara massif dan menolak untuk mengakui jika sisi gelap identitas itu ada. 

Identitas gelap dari lembaga menunjukkan kelemahan pengaturan. Namun dibiarkan agar riak lembaga tetap datar seperti air di danau yang tenang. Waktunya tentara dan polisi bukan hanya dicecoki dengan wawasan nasionalisme tapi juga perlu pendidikan seks sebelum bertugas. Demikian juga dengan universitas. Permendikbud-Ristek perlu mengukur ranking universitas bukan hanya didasarkan pada kinerja dan publikasi dosen di jurnal Scopus. Namun juga perlu dilihat sejauh mana universitas tersebut steril dari kekerasan seksual. Baik yang dilakukan oleh dosen maupun para mahasiswa seniornya. Ranking universitas juga perlu dilihat dari sejauh mana para korban dilindungi jika terjadi kekerasan seksual yang menimpanya dan pelakunya diproses dengan hukuman yang serius dan berat.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s