10 Buku Etnografi Asia Tenggara Terbaik

Tidak banyak perubahan di tahun 2021. Tapi tetap aktif adalah salah satu syarat menjaga kewarasan. Salah satunya, saya mendraft 10 buku etnografi terbaik selama satu dekade terakhir.

Etnografi telah memberi contoh istilah-istilah yang selama ini sulit dipahami ketika disampaikan ilmu lain, seperti populisme, oligarki, pemanasan global hingga pluralisme. Melalui narasi-narasi orang kecil, yang mungkin secara politik tidak penting, istilah-istilah yang sulit dipahami menjadi narasi yang mudah dimengerti dan dapat dirasakan oleh kita semua.

10. Erik Davis. Death Power. Buddhisms Ritual Imagination in Cambodia.

Kematian punya kekuatan dalam menyatukan manusia yang masih hidup. Bab dalam buku ini penuh dengan narasi etnografi tentang upacara kematian. Bagian yang paling menarik adalah bab 6 tentang Hungry Ghosts. Orang-orang kaya yang sukses di kota-kota Kamboja, mudik setiap tahunnya untuk merayakan upacara Pchum Ben. Ribuan makanan diberikan kepada bikhu untuk dijadikan sesaji kepada nenek moyang yang telah meninggal. Tujuannya agar yang masih hidup tidak tertimpa sial. Nenek moyang tidak marah, hutang terlunasi, dan rejeki berlimpah. Buku ini  tentang orang Kamboja, tapi sepenuhnya mengingatkan saya tentang masyarakat agraris Jawa yang menetralisir bahaya hidup dan ketidakpastian dengan melakukan banyak upacara.  

9. Jonathan Padwee. Disturbed Forests. Fragmented memories.

Jika studi Erik Davis tentang masyarakat agraris dataran rendah di Kamboja. Buku ini tentang orang-orang dataran tinggi Jarai di kawasan timur laut Kamboja. Saya suka buku ini karena ia adalah contoh gamblang etnografis tentang orang-orang yang “Not Being Governed” dalam istilah James C Scott. Orang Jarai dulunya budak yang diperebutkan untuk digeret ke kerajaan Thailand. Di masa rejim Khmer merah, orang-orang Jarai dimobilisasi bekerja di proyek perkebunan pangan. Diversitas jenis tanaman pangan musnah, dan kelaparan justru merajalela. Buku ini mengingatkan bagaimana rejim Orde Baru dijalankan di Indonesia. Tidak perduli ideologi kanan atau kiri, selama ia otoriter, maka yang dikorbankan adalah keragaman hayati dan komunitas-komunitas yang dipandang bar-bar dan tidak produktif secara “ekonomi”. 

  1. Andrew Alan Johnson. Life and Death Along A Changing River

Buku ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan kejeniusan lokal, yang seringkali diglorifikasi punya batasnya. Khususnya ketika berhadapan dengan perubahan besar seperti perubahan iklim, dan di kasus sungai Mekong ini adalah bendungan hydroelectric. Arus air berubah, ikan yang berpijah mulai hilang. Keragaman sungai Mekong pun punah.

Penulis menggunakan konsep Aporia, dari Derrida, yakni kebingungan dan kecemasan akibat perubahan besar, dan tidak ada istilah-istilah lokal untuk mengantisipasi perubahan besar ini. Percaya susah, tidak dipercaya juga semakin bahaya. Buku etnografi ini berlatar belakang sungai Mekong.

Penulis melihat aliran sungai dari Thailand ke Laos. Warga sepanjang sungai punya pandangan metaforis dan mistis tentang Mekong yang telah menghidupi mereka. Tentang ular naga yang meliuk-liuk membentuk aliran sungai. Ketika bendungan menyetop air, ritual-ritual mati karena upacara didasarkan pada air sungai yang mengalir. Ketidakpastian bukan saja menyingkirkan tradisi warga, sekaligus menghilangkan matapencaharian mereka dan akhirnya warga bekerja di sektor-sektor informal di negara tetangga, seperti Singapura.

 
7. Erik Harms. Luxury And Rubble. Civility and Dispossession in the New Saigon

Jika ingin mencari contoh apa yang dimaksud dengan Joseph Schumpeter dengan teorinya Creative Destruction, maka buku etnografi ini adalah jawabnya. Separoh buku ini isinya tentang Phu My Hung, kota mewah (luxury) yang dibangun secara kreatif. Seperti BSD, Bintaro, Pakuwon di Surabaya atau Araya Malang, Phu My Hung dibangun untuk mewujudkan mimpi hidup jauh dari gossip tetangga, meski tidak menikah atau sudah janda. Hidup eksklusif dan sesuai dengan cita-cita Doi Moi, yakni reformasi Vietnam menuju pasar bebas.

Sedangkan separoh sisa dari buku adalah tentang keruntuhan (rubble) Thu Thiem. Kota yang dibangun semasa arsitektur Perancis dan dibangun ulang di jaman rejim sosialis Vietnam. Kota ini diruntuhkan. Rata dengan tanah. Ribuan warga lama disingkirkan. Namun destruksi kreatif seringkali meninggalkan masalah. Thu Thiem ternyata kota berlumpur. Ketika dibiarkan tanpa penduduk dan bangunan, luapan sungai Saigon yang tepat mengalir di sampingnya tumpah ke jalan-jalan kota ini. Padahal para investor dari luar, Cina, Taiwan, sudah menaruh modal mereka dari kota yang terlanjur dihancurkan ini.  


6. Daromir Rudynick. Beyond Debt. Islamic Experiments in Global Finance

Salah satu frustasi dari ekonomi adalah menghindari riba. Tidak terkecuali Islam. Mencoba berbagai jalan untuk menghindari bunga hutang. Daromir, sebelumnya pernah melakukan riset tentang keuangan Islam di Indonesia. Ia kemudian mengembangkan studinya ke Kuala Lumpur. New Yorknya keuangan Islam di dunia. Di Malaysia, ekonomi Islam muncul sebagai respon terhadap ekonomi neoliberal. Daromir menggambarkan, pada tahun 2010, masyarkat Malaysia ingin menjadi pasar entrepreneur bagi masyarakat Asia, seperti Cina, Hongkong. Namun bedanya, Malaysia hendak membawanya dengan semangat keIslaman sekaligus. Komoditas yang ingin ditegakkan adalah sertifikasi halal.

Daromir menjelaskan perubahan dari instrument berbasis hutang, “debt-based” ke apa yang ia sebut dengan “equity-based contract” atau instrument berbasis kontrak. Berbeda dengan institusi finansial konvensional yang berbasis pada berbagi keuntungan, keuangan Islam lebih menekankan pada keuntungan dan resiko yang dibagi secara bersama.  Dalam ekonomi Islam, keuntungan secara moral diperbolehkan jika kedua belah pihak saling bertukar dan menanggung resiko.

Jika anda kurang begitu paham seperti apa ekonomi Islam itu, ini adalah buku etnografi yang sangat pas. Banyak contoh kontrak peminjaman berdasarkan berbagi resiko yang diceritakan secara etnografis dan mudah dicerna.

 5.  Tania Li And Pudjo Semedi. Corporate Occupation in Indonesia’s Oil Palm Zone

Saya tidak meragukan tulisan etnografi dihasilkan dari peneliti yang masa kecilnya di besarkan di perkebunan. Mas Pudjo. Di bagian awal ia mendefinisikan perkebunan sebagai raksasa yang malas. Tidak efektif dan koruptif. Namun cara mendatangkan uang dengan cepat. Semakin lengkap tatkala pengalamannya digabungkan dengan penelitian bersama Tania Li di Kalimantan. Buku ini penuh dengan foto-foto dari mahasiswa antropologi UGM yang diperbantukan dalam proyek riset besar ini. Masing-masing mahasiswa menulis berdasarkan keinginan mereka.

Kelebihan lainnya, di buku ini, dua penulis berhasil mendapatkan ijin riset ke perusahaan-perusahaan perkebunan yang sebenarnya sangat tertutup. Dan seperti kondisi perkebunan pada umumnya, Life Forms atau bentuk kehidupan para karyawannya sangat memprihatinkan. Lampu mati, hidup pas-pasan tanpa jaminan hari tua, fasilitas air tercemar, adalah janji yang tidak ditepati oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. Jika anda kenal baik dengan ciri khas dari dua penulis ini, anda akan tahu mana bagian dongeng dan deskripsi Mas Pudjo, dan mana bagian yang itu adalah analisis Tania Li.  

4.  Leah Zani. Bomb Children. Life in the Former Battlefields of Laos

Ini buku etnografi yang unik. Setiap babnya penuh dengan puisi tentang perang. Hingga saat ini saya masih bertanya, mengapa puisi sangat dekat dengan perang dan kematian? 


Bayangkan anda duduk di sebuah kafe di Vientiane, ibukota Laos. Dan tepat dibawahnya ada bom yang pernah dijatuhkan oleh AS selama perang Indochina, tapi tidak meledak. Itulah pemandangan biasa yang ada di Laos. Warga Laos hidup berdampingan dengan bom. Angka harapan hidup singkat atau cacat adalah pengalaman umum. Bom itu seperti buah, ia harus diambil sebelum akhirnya matang dan meledak. 


Seperti Vietnam, Laos kini menuju pasar ekonomi terbuka. Bedanya, AS tidak pernah menduduki Laos secara langsung. Kecuali hanya menjatuhkan jutaan bom dari udara. Saat ini, semua bangunan dipoles untuk investor. Namun bangunan-bangunan ini berdiri tepat diatas bom-bom yang tidak jadi meledak. 


Saya tertarik dengan konsep yang digunakan oleh peneliti, apprehension. Ketakutan akan sesuatu yang mengerikan di masa depan. Seperti bom yang tiba-tiba bisa meledak begitu saja. Zani menceritakan pengalaman suara dari orang-orang yang mendengar ledakan. Hingga di radius paling jauh. Ia berpotensi pada kecacatan tubuh atau kematian. Jika bom tersebut meledak dengan suara membahana. Penduduk lega karena ia meledak di tanah kosong. Namun jika ia berdentum seperti berdehem, maka bom tersebut berdentum tepat di bawah rumah dan perkantoran. 


Membaca buku ini mengingatkan bahwa bukankah saat ini hidup juga penuh dengan apprehension? Ketakutan akan sesuatu mengerikan yang akan terjadi di masa depan. Usai kita melewati kekhawatiran dengan Covid 19 dari Wuhan. Lalu datang varian Delta. Lalu sebentar lagi varian Omicron dst dst. Belum lagi apprehension kita terhadap masa depan lainnya. Kesehatan, kesepian, hingga masa tua tanpa pesangon dan pensiun.


3. Ivan V Small. Currencies of Imagination. Channeling Money and Chasing Mobility in Vietnam

Buku ini tentang keturunan pengungsi Vietnam di Amerika Serikat yang mengirimkan uang balik kepada keluarga di negara asal mereka atau yang biasa disebut remittance. Di Asia Tenggara, setelah Filipina, Vietnam adalah negara yang GDP nya terbesar dari remittance ini. Di Vietnam, uang remit menjadi sumber devisa nomer tiga setelah sektor industry jasa dan manufaktur. Remittance dikirim karena perasaan berkewajiban agar uang tersebut digunakan untuk ritual, dan merawat keluarga. Di waktu Vietnam masih menjadi negara sosialis, remittance dari Amerika dianggap membahayakan secara ideologi. Buku ini menunjukkan bahwa jika prinsip ekonoi adalah soal mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, mengapa ada jutaan pekerja di luar negeri mau mengirim uang remit mereka? Ada unsur emosi, kenangan, keintiman dan identitas dalam pengiriman uang remit.

Namun demikian, ketika Vietnam melakukan reformasi  ekonomi lebih terbuka terhadap pasar (doi moi), remittance mulai dinstitusikan. Hal ini karena penerima uang remit banyak yang menyalahgunakan hanya untuk kebutuhan konsumtif. Institusi uang remit ada beragam. Ada yang berupa arisan hingga dijadikan investasi.  Namun dari buku ini saya merefleksikan bahwa kapitalisme berjalan melalui hal-hal yang justru sifatnya non-ekonomi seperti perasaan berkewajiban, perasaan bersalah, dan keinginan menjaga identitas kultural.       

 2. Marco Garrido. Patchwork City. Class, Space and Politics in Metro Manila

Tugas etnografi adalah melakukan riset empirik untuk memberi atau mengkritisi definisi-definisi yang terlalu abstrak yang disodorkan oleh disiplin lain, dan buku ini salah satu contohnya. Buku ini memberi contoh gamblang apa itu arti dari populisme. Garrido berangkat dengan memberi contoh Josep Estrada, presiden Filipina yang sangat digandrungi oleh kaum papa di kampung-kampung kumuh Manila. Estrada adalah bintang film yang berpuluh-puluh kali memainkan peran sebagai supir. Pekerjaan yang sangat umum di Manila.

Penulis menggambarkan kota Manila sebagai kota tambal sulam. Persis seperti pakaian yang dibuat dari kain perca. Setengah dari kota ini dipenuhi dengan rumah-rumah gubuk. Perumahan sangat mewah bertumbuk dikelilingi dengan kawasan gembel, dan sebaliknya, kawasan melarat dikelilingi oleh perumahan mewah. Namun meski saling berdekatan, kawasan mewah memberi pagar batas dari perkampungan melarat ini.

Tidak adanya kekuatan masyarakat sipil dari kelas menengah membuat orang-orang di kampung melorot dengan mudah terpesona dengan pemimpin populis. Buku ini menarik karena dari daerah kantong berbasis kelas tersebut membentuk pilihan politik. Ketika Estrada dipecat gara-gara korupsi dan tingkahnya yang kampungan, dan digantikan oleh Gloria Macapagal Arroyo, jutaan orang miskin turun ke jalan. Mereka menangis dan marah. Sebaliknya kelas menengah menyambut lega dan gembira. Dari buku ini kita menjadi paham bahwa pemimpin populis tidak selamanya bisa menangkat derajat kaum melarat, tapi setidaknya mereka punya pengharapan dan rasa keterwakilan akan identitasnya, sebatas itu saja.

Sayangnya, buku ini terbit tepat ketika pemimpin populis Rodrigo Duterte naik takhta. Perbedaannya dengan Estrada, banyak keputusan populis Duterte justru menyenangkan bagi orang-orang kaya.

 1. Claudio Sopranzetti, Owners Of The Map. Motorcycle Taxi Drivers, Mobility and Politics in Bangkok

Saya menempatkan buku ini sebagai urutan pertama terbaik karena ia berelasi dengan kehidupan kita saat ini. Buku ini tentang para supir online yang merasa dirinya lebih bebas dari pekerjaan konvensional lainnya. Mereka merasa seperti seorang pengusaha. Namun ada banyak paradoks disana. Mobilitas fisik mereka tinggi, tapi tidak dengan mobilitas ekonominya. Bangkok adalah kota air terhubung dari kanal-kanal dan membingungkan. Karena itu para supir ojek inilah yang mampu memahami peta jalanan kota. Ketika tidak jalan atau instruktur yang mengurai keruwetan kota, maka kendaraan ojek adalah infrastruktur penghubungnya. Para pekerja ini berasal dari kawasan pedesaan di luar kota Bangkok, namun ketika sifat pekerjaan ini menuntuk mereka menjadi sangat atomik karena tidak mempunyai sarikat kerja.

Ketika Perdana Menteri Thaksi melegalkan taksi online, ia menjadi pahlawan di mata para supir ojek ini. Buku ini menunjukkan pada kita yang menggolorifikasi kebebasan, tapi sebenarnya tidak juga. Karena kita memasuki satu kerentanan baru. Atomik, sendiri, Negara tidak menjaminan resiko kerja dll. Yang pada akhirnya, kerentanan model baru ini berpotensi menggiring kita untuk kagum dengan pempimpin-pemipin populis, yang seolah-olah mendukung kaum miskin, namun sebenarnya hanya mencari keuntungan berlipat. Gara bernarasi Claudio dengan wawancara-wawancara etnografisnya, membawa saya seolah-olah saya berada diatas jok motor tepat di belakang supir ojek.  

Leave a comment