Gula dan Kekuasaan

Antropolog Sidney Mintz  menunjukkan bahwa konsumsi gula merupakan simbol gaya hidup orang Eropa untuk menjadi masyarakat modern sejak abad 19. Sidney Mintz, melihat bahwa berbagai fungsi gula membawa kekuatan simbolis dan memiliki makna di balik proses konsumsi dan produksinya. Gula menjadi produksi yang umum dan murah ketika menyebar luas melalui kelas pekerja  yang diupah dengan murah.

Di bab pertama, Mintz menunjukkan gula mempuanyai makna sosial. Pilihan makanan dan kebiasaan makan menciptakan perbedaan kelassosial. Apa yang orang makan pada dasarnya mendefinisikan persepsi mereka kepada orang lain. Karena itu, bagi Mintz, konsumsi gula menunjukkan modernitas masyarakat Eropa. Gula tidak lagi eksotis pada tahun 1800 dan setelahnya. Setelah diproduksi masal, gula telah menjadi kebutuhan pokok bagi hampir setiap orang Inggris. Meski ada banyak alasan mengapa orang menyukai rasa manis, namun Mintz tidak menekankan alasan mengapa orang menyukai gula, sedangkan sumber manis lainnya juga berlimpah seperti madu dan buah-buahan. Sebaliknya, sebagai antropolog Marxian, Mintz justru lari ke arah penjelasan produksi dan konsumsi yang dia uraikan dalam bab dua dan tiga.

Di bab dua, tentang produksi, ia menguraikan bahwa produksi tebu datang bersamaan dengan kisah penaklukan dan penjajahan. Sejak gula menjadi tanaman yang berharga dan memiliki kontribusi yang signifikan secara ekonomi, produksi dapat mempengaruhi kebijakan politik dan keputusan militer. Baik untuk melakukan invasi maupun mengawasi para budak yang direkrut bekerja di perkebunan. Banyak tanaman yang kemudian dikomodifikasi seperti kapas, kopi dan teh, beras, gandum dan buah-buahan ditanam dan dilalui melalui proses subordinasi terhadap tenaga kerja yang massif dan kolonialisme. Proses produksi tanaman berada di bawah kebijakan penjajahan administrasi dan perpajakan, dan teknologi irigasi (hal 25). Karena penjajah membutuhkan sumber daya manusia untuk meningkatkan produksi, hubungan antara budidaya gula, perbudakan dan kolonialisme saling terkait erat.

Untuk meningkatkan produksi gula dan memenuhi permintaan, pemerintah Inggris menerapkan sistem padat karya. Buruh bekerja selama hampir satu minggu penuh. Mereka hanya istirahat dari sabtu malam sampai senin pagi. Selain itu, mereka bekerja bergantian terus menerus di pabrik sepanjang hari dan sebagian malam (hal 49). Mintz menekankan tiga produksi padat karya utama. Pertama melalui tenaga mekanik yang dapat menghasilkan produksi massal. Mekanisasi juga didukung oleh disiplin kerja manusia. Kedua, melalui pembagian angkatan kerja berdasarkan tenaga terampil dan tidak terampil. Ketiga, konstruksi kesadaran waktu di mana ciri industri kapitalis membutuhkan waktu untuk memperhitungkan semua fase perkebunan (hal 51). Kesimpulannya, Mintz percaya bahwa penciptaan konsolidasi tanaman komoditas seperti gula berkaitan dengan subordinasi ekonomi perkebunan yang didasarkan pada kerja paksa yang dilakukan selama masa kolonial.

Dalam pembahasan tentang konsumsi, bab tiga, Mintz menunjukkan gula dikeluarkan dari kategori rempah-rempah. Tidak seperti cengkeh, pala dan merica; gula bukan lagi komoditas eksotik karena diproduksi secara massal. Konsumsi gula berkaitan dengan kerja paksa yang masif dan intensif yang menghasilkan tebu di negara-negara kolonial Inggris, khususnya di Kepulauan Karibia.

Dalam bab ini, Mintz juga menunjukkan bahwa kenikmatan rasa manis ada hubungannya dengan kapitalisme modern. Kenikmatan terhadap rasa manis sebenarnya bukanlah fenomena baru. Pada periode pra modern, bangsawan menikmati makanan manis yang terdiri dari madu atau buah-buahan, bukan dari gula rafinasi. Sebelumnya, seperti pada peradaban Mediterania, konsumsi gula kebanyakan digunakan untuk menyembuhkan penyakit, bukan untuk diet. Karena itu, terkadang bangsawan atau raja bisa tersinggung jika makanan di atas meja disajikan dengan gula. Mereka mengira dirinya sedang sakit, karena gula biasanya digunakan untuk menyembuhkan orang sakit. Mintz menunjukkan fakta bahwa kebanyakan hanya elit dan bangsawan yang mengkonsumsi gula pada abad kedelapan belas. Konsumsi gula yang masif belum memberikan semacam efek trickle down bagi masyarakat awam.

Gula sebagai pelengkap atau bumbu manis dari sebuah makanan adalah fenomena baru yang ada hubungannya dengan kapitalisme modern. Perayaan terhadap masifnya komoditas gula gula muncul pada abad kesembilan belas seiring dengan kerja intensif para buruh murah perkebunan tebu di daerah-daerah jajahan Inggris. Selain itu, berbeda dengan komoditas lain seperti kopi, teh, dan minuman keras, pertumbuhan gula tidak mendapat keberatan dari para ahli agama. Hal ini karena gula tidak mengandung kafein, nikotin, atau alkohol yang dilarang oleh agama tertentu.

Karena peningkatan pesat kelas menengah Eropa, mereka membutuhkan lebih banyak gula yang biasanya digunakan untuk biskuit dan puding. Kue-kue manis semacam ini menemani orang-orang selama waktu piknik. Namun, karena mesin penghalus gula yang bagus belum ditemukan, Inggris menganggap semakin banyak gula putih semakin baik. Warna putih gula juga dianggap mewakili kulit putih Eropa yang memang seharusnya memiliki nilai dan harga yang tinggi.

Dari studi inilah kita bisa mempelajari bahwa asal usul kapitalisme itu bukan dari lantai pabrik, tapi dari sejarah perkebunan. Para buruh didisiplinkan bekerja sepanjang hari dengan upah rendah. Selain itu, tebu yang merupakan tanaman monocrop dalam skala besar, menghapus keragaman hayati dari hutan. Sehingga, pada saat ini, seperti sawit, tebu juga dianggap berperan dalam sejarahnya mengawali munculnya pemanasan global. 

Leave a comment